Kisah Nyata: Jeritan Hati Seorang Jurnalis yang Terjebak dalam Biaya Kesehatan
B-news.id - Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kesehatan adalah harta yang tak ternilai. Namun, bagi sebagian masyarakat, khususnya wong cilik yang tak memiliki akses jaminan kesehatan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), kesehatan juga bisa menjadi sumber kekhawatiran besar.
Salah satu kisah nyata yang menggambarkan perjuangan masyarakat kecil dalam menghadapi masalah kesehatan datang dari seorang jurnalis yang telah berkarier selama 25 tahun di dunia kewartawanan.
Pada Minggu, 15 September 2024, sekitar pukul 01.30 WIB, peristiwa ini terjadi. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, penulis tiba-tiba mengalami kelumpuhan mendadak di lutut.
Lutut yang seharusnya menopang tubuhnya, kini tak berfungsi sebagaimana mestinya. Jangankan untuk berjalan, berdiri pun tak mampu.
Dalam kondisi tersebut, anaknya segera membawanya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di salah satu rumah sakit besar di kotanya, yang namanya sengaja tidak disebutkan untuk menjaga privasi dan etika.
Perawatan di Rumah Sakit: Antara Kesembuhan dan Kekhawatiran Biaya
Setelah mendapat penanganan di IGD, pagi harinya penulis dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisi lutut yang semula lemas mulai membaik pada sore harinya. Lutut yang sebelumnya tak mampu menopang tubuh, mulai bisa digunakan untuk berdiri meski harus tertatih-tatih.
Berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa, pada Senin pagi, 16 September 2024, penulis sudah mampu berjalan sendiri walaupun masih harus perlahan-lahan dan berhati-hati.
Namun, di tengah proses pemulihan itu, pikiran penulis justru tidak sepenuhnya terfokus pada kesembuhannya. Ada kekhawatiran besar yang terus menghantui pikirannya: bagaimana cara membayar biaya perawatan di rumah sakit.
Sebagai seorang jurnalis yang telah lama berkecimpung dalam dunia kewartawanan, ia memiliki jiwa analis yang kritis, terutama ketika menghadapi fenomena yang tampak janggal dan butuh jawaban.
Ketika diperbolehkan pulang, penulis segera berkoordinasi dengan pihak administrasi rumah sakit untuk menyelesaikan biaya opname dan perawatan medis selama kurang lebih 26 jam.
Meskipun penulis sebenarnya memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) mandiri dan rutin membayar premi sebesar Rp 51 ribu setiap bulan, sejak pertengahan tahun 2023 ia mengalami kendala pembayaran.
Setiap kali ia datang ke Kantor Pos untuk membayar premi, petugas menyatakan bahwa tagihan tidak muncul, sehingga ia tidak bisa membayar premi selama beberapa bulan.
Tanpa KIS, Harus Membayar Biaya Sebagai Pasien Umum
Karena kesibukan dan masalah tersebut tak kunjung terselesaikan, KIS miliknya akhirnya tidak aktif lagi. Dengan terpaksa, ia harus membayar biaya perawatan sebagai pasien umum, bukan sebagai peserta BPJS. Total biaya yang harus dibayarkan mencapai lebih dari Rp 3 juta. Setelah melihat rincian biaya, penulis sempat terkejut. Biaya ST scan saja mencapai Rp 1.125.000, tindakan medis operatif sebesar Rp 141.000, tindakan non-operatif Rp 729.000, dan berbagai biaya lainnya hingga total lebih dari Rp 3 juta hanya untuk perawatan selama dua hari.
Dalam hati, penulis merasa prihatin. Ia berpikir, jika dirinya yang memiliki penghasilan sebagai jurnalis saja merasa berat dengan biaya ini, bagaimana dengan wong cilik atau masyarakat kecil yang benar-benar tidak mampu dan tidak memiliki KIS? Bagi mereka, sakit bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga persoalan ekonomi yang membebani.
Refleksi Seorang Jurnalis: Pelayanan Kesehatan yang Mahal untuk Rakyat Kecil
Saat terbaring di ranjang perawatan, yang terlintas di benaknya bukan hanya tentang kesembuhan dari sakitnya, melainkan lebih kepada bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk membayar biaya perawatan yang cukup besar tersebut.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar dalam dirinya tentang sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sebagai seorang jurnalis yang terbiasa menganalisis berbagai fenomena sosial, ia melihat ada ketidakselarasan dalam sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.
Rumah sakit milik pemerintah, para dokter, perawat, dan petugas medis lainnya digaji oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Fasilitas dan alat-alat medis pun disediakan oleh negara.
Namun, mengapa pasien tetap harus membayar mahal untuk setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis? Seolah-olah, meskipun sudah dibiayai negara, rakyat tetap harus mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
Harapan untuk Pemerintah: Lebih Maksimal dalam Merawat Rakyat
Kisah ini bukanlah sebuah kritik terhadap rumah sakit, tenaga medis, atau birokrasi. Ini adalah jeritan hati dari seorang warga yang berharap agar pemerintah bisa tampil lebih maksimal dalam mengelola negara, termasuk dalam merawat rakyatnya. Bagi wong cilik yang tidak punya KIS, sakit bisa menjadi musibah yang jauh lebih besar dari sekadar masalah kesehatan, melainkan juga masalah ekonomi yang menekan kehidupan mereka.
Semoga dengan adanya cerita ini, ada perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait dalam menyempurnakan sistem kesehatan di Indonesia. Masyarakat kecil berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak tanpa harus merasa terbebani dengan biaya yang tinggi. (Dituturkan oleh Wartawan Senior di daerahnya).